Kekekalan Energi…

15 03 2009

Apa yang kita sombongkan??

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka. Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih- benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu

jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang

kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri.

Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam.

Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.

Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?
from Heru Umrah setia dari milis Daarut Tauhid 11/03/2009





Pertemuan dengan TDA

9 03 2009

Sekedar mengingatkan ku dengan sebuah momen paling berarti di akhir tahun 2008. Pertemuan dan deal luar baiasa ku dengan seorang sahabat kang Hermawan Aksan salah seorang teman wartawan yang juga Redaktur di harian pagi di kota Bandung.

Awalnya saat searching buku di bukukita.com aku menemukan nama penulis buku Hermawan Aksan rasa nya nama ini aku kenal dan familiar dengan ku. Penasaran aku kontak Pemred ku yang juga adalah guru ku sewaktu menimba ilmu di salah satu harian pagi di kota Bandung, Bapak Yusran Pare. Ternyata benar yang menulis buku “Jangan Bunuh Obama” dan novel Best Seller “Diah Pitaloka” adalah sahabat dan sekaligus memang senior ku waktu jadi wartawan harian pagi Metro Bandung dari tahun 2002 sampai tahun 2004.

Aku kontak beliau via sms apa masih ingat dengan ku, Alhamdulillah walau sejak keluar dari Metro Bandung tidak pernah kontak lagi ia masih ingat dengan ku. Akhir nya 12 November 2008 kami ketemu dengan sebuah deal yang menarik.

Aku minta semua buku karya kang Hermawan dikumpulin dan akan aku jadikan koleksi pribadi yang ekslusive karena bangga rasanya punya seorang sahabat, seorang penulis karena aku bercita-cita suatu saat juga akan jadi seorang penulis…mudah2 an saja terwujud,,,insyaAlooh…Amien

Kang Hermawan menyanggupi, tapi aku bingung mau ngasih apa untuk kang Her yang sudah berbaik hati pada saya untuk mengumpulkan buku2 karyanya. Akhirnya aku bilang, sekarang aku pegang dealer Esia di Garut, mungkin kang Her mau aku barter bukunya dengan handphone Esia terbaru yang sudah dilengkapi kamera. Tapi saya juga minta setiap buku ada tanda tangan kang Hermawan sebagai kenang-kenangan untuk saya. Alhamdulilah kami deal dan bertemu di kantor Tribun Jabar sambil kangen-kangennan dengan mantan kantor ku itu.

Siapa sangka ternyata buku-buku kang Her telah menghubungkan ku dengan dunia bisnis yang lebih luas dengan network seluruh Indonesia. Itulah awal perkenalan ku dengan komunitas TDA yang aku dapatkan di buku kang Hermawan, “Ide Gila Marketing” Tung Desem Waringin.

Semoga Kang Hermawan terus berkarya





Sekolah Karakter

28 02 2009

SEKOLAH KARAKTER
“Jangan jadikan anak kita takut untuk berbuat”

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi janji bahwa pemerintah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sesuai dengan UUD 1945 hasil amendemen. Diharapkan setelah kesejahteraan guru, materi, dan infrastruktur terpenuhi, kualitas pendidikan Indonesia akan meningkat untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.

Menurut DR. Ir. Ratna Megawangi Msc praktisi pendidikan dan pendiri Yayasan Warisan Luhur Indonesia, besaran persentase itu bukan masalah inti pendidikan Indonesia. Yang penting dibenahi lebih dulu adalah sistem pendidikan dan hasrat guru untuk mengajar. “Itu yang menjadi roh pendidikan sumber daya manusia,” ujarnya kepada Akmal Nasery Basral, Yophiandi, dan Santirta dari Tempo, Selasa pekan lalu. Berikut petikannya.

Q: Bagaimana Anda melihat janji Presiden dalam pidato kenegaraan yang akan meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20 persen dari APBN?

A: Memang ada asumsi peningkatan anggaran akan membuat kualitas pendidikan kita lebih baik, tetapi saya lihat masalahnya bukan di sana, melainkan pada sistem pendidikan dan kualitas guru. Kalau kita bicara roh pendidikan, kedua hal inilah yang perlu diperhatikan.
Pendidikan kita selama ini academic oriented. Contohnya, ujian itu selalu hafalan dari TK sampai SMA. Setiap sekolah mengajarkan teaching to the test. Padahal, kalau menurut taksonomi, hafalan itu merupakan tingkat terendah kecerdasan manusia. Menurut (Albert) Einstein, binatang pun bisa diajarkan menghafal. Akibatnya, aspek kreativitas, deep thinking, tidak berkembang baik. Interpersonal, refleksi, emosi, spiritualitas, tidak berkembang baik. Salah satunya terlihat pada entrepreneurship kita yang masih rendah. Menurut Ciputra, rasio (entrepreneur dibanding jumlah penduduk) kita cuma 0,18 persen. Padahal sebuah negara untuk bisa maju membutuhkan sedikitnya dua persen entrepreneur.

Q: Sejauh mana angka-angka itu menjadi penghambat?

A: Sejak kecil anak di Indonesia tidak dibiasakan berpikir kreatif, karena ada sistem peringkat dari satu sampai sepuluh yang membuat mereka takut berbuat salah. Takut salah itu adalah cerminan takut mengambil risiko. Sikap ini akhirnya terbawa ke dunia kerja. Ini yang membuat orang Indonesia berpikir selalu mengikuti juklak. Padahal orang kreatif itu yang berpikir keluar dari juklak. Jadi, walaupun sudah (ada kenaikan anggaran menjadi) 20 persen, tetap tak akan ke mana-mana pendidikan kita.

Q: Apa yang sebaiknya menjadi prioritas pembenahan?

A: Pertama, pelajaran tidak boleh terlalu banyak, terutama di usia dini, 14 tahun ke bawah. Di usia 10 tahun ke bawah di mana otak berkembang sampai 95 persen, kita ha rus betul-betul membuat sistem pendidikan yang fun. KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) itu sebenarnya bagus, tapi penekannya balik lagi ke teaching to the test bagi anak-anak SD.
Lalu dari guru yang kurang adalah spirit of teaching. Banyak guru yang tidak tahu bagaimana menjadi guru yang benar walau sudah sarjana. Guru yang berhasil adalah guru yang membuat anak terus ber tanya, dirindukan anak-anak. Sekolah yang berhasil adalah sekolah yang kalau libur, atau murid-muridnya dipulangkan cepat, para murid justru enggan karena mereka maunya tetap di sekolah. Sekolah itu kan berasal dari kata Yunani scholeia, yang artinya tempat bersenang-senang. Sekarang, sekolah kita jadi tempat anak-anak bersenang-senang atau menakutkan?

Q: Ada kecenderungan jam sekolah anak-anak semakin panjang sajabahkan sampai sore hari? Apakah itu tidak membuat anak jenuh?

A: Tidak apa-apa sekolah sampai malam sekalipun asal fun. Kalau tidak fun, sampai jam 10 pagi pun sudah capek sekali. Jadi, yang penting adalah membuat suasana bagaimana mereka tidak merasa belajar, tapi bermain, padahal sebenarnya mereka belajar. Singapura sudah meninggalkan sistem pendidikan berorientasi akademik, tapi lebih pada sisi holistik, menyangkut emosi dan sosialnya. Jepang dan Korea Selatan juga begitu. Hukum alam itu menunjukkan mereka yang berIQ di atas 120 hanya 10 persen dari populasi. Yang ber-IQ di atas 115 sekitar 15 persen. Sisanya yang mayoritas sekitar 85 persen, memiliki IQ di bawah itu. Karena itu, kalau fokusnya pada academic oriented, 85 persen siswa pasti tak bisa mengikuti.

Q: Contoh riilnya bagaimana?

A: Olimpiade fisika, olimpiade matematika, dan sebagainya itu. Saya tanya ke Profesor Yohanes Surya (pembimbing tim Olimpiade Fisika Indonesia), bagaimana caranya menciptakan para juara seperti itu? Dia bilang yang dibina itu adalah yang IQ-nya 160 ke atas. Jumlah murid seperti ini cuma 0,0001 persen dari populasi atau sekitar 3.000 anak Indonesia. Kalau seperti ini, nggak dibina pun mereka belajar sendiri sudah jago.
Yang harus kita pikirkan adalah yang mayoritas. Di Swedia, saya pernah berkunjung ke satu SMA yang punya 16 jurusan. Ada yang untuk menjadi babysitter, koki, perancang mode, dan sebagainya, selain jurusan sains dan matematika.
Saya hitung komposisi murid berdasarkan jurusan yang mereka ambil, ternyata yang mengambil sains dan matematika itu jumlahnya hanya sekitar 15 persen. Klop dengan hukum alam tadi.
Sistem pendidikan kita malah terbalik karena melawan hukum alam (tertawa). Kalau melawan hukum alam, akibatnya semua rusak, mental, karakter, kepercayaan diri.
Jadi, kenapa kita sebagai bangsa gampang marah, karena sejak kecil kita dipaksakan untuk menerima sesuatu yang bukan seharusnya kita terima. Anak-anak gampang stres.

Q: Ciri-ciri anak stres itu bagaimana?

A: Anak itu akan nggak suka sekolah. Entah karena pelajaran maupun karena faktor guru. Input dan respons otak anak itu tak bisa dibohongi. Dia nggak nyaman.
Ada pendapat bahwa para pendidik di tingkat dasar justru seharusnya para doktor dan profesor yang mengerti padagogi. Anda setuju?
Saya nggak yakin kalau profesor otomatis bisa mengajar di TK atau SD. Ketika saya ingin membuat TK nonformal di desa, saya kesulitan mencari guru yang memadai.
Akhirnya direkrutlah lulusan SMP yang membantu mengajar di TK.
Kami beri pelatihan praktis. Ternyata mereka bisa membuat sekolah menjadi tempat menyenangkan bagi murid. Jadi, yang penting ada lah guru itu punya ilmu the spirit of teaching. Mau berkorban. Sekolah kami mengembangkan konsep community based, yang bayar guru adalah orang tua murid. Ada (orang tua) yang bayar Rp 8.000-10.000 per bulan. Karena itu bayaran guru paling banter Rp 100 ribu. Herannya, kok mereka masih bertahan? Masih mau mengajar? Saya pikir itu bisa terjadi karena mereka memang sudah jatuh cinta pada dunia pengajaran.

Q: Dari konteks ini, bagaimana melihat program pemerintah mengenai wajib belajar sembilan tahun yang dimulai dari umur 7 tahun?

A: Sekarang pemerintah sudah sadar dan membentuk banyak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di mana-mana, karena ada istilah six is too late. Ini juga menjawab kenapa sumber daya kita rendah karena fondasi selama ini juga tak kuat.
Kalau fondasi tidak kuat, biar sudah tingkat lanjutan tetap saja tak bisa bagus. Ini yang kami antisipasi, misalnya di Muara Karang, tempatnya anak-anak kelas bawah. Atau di Tapos yang banyak anak-anak tukang ojek. Sekarang ini sudah ada sekitar 700 sekolah kami yang seperti ini, dengan murid rata-rata 30 orang per kelas. Mereka kritis sekali, bisa bertanya ini-itu karena, meskipun masih kecil, sudah punya prinsip. Yang kita tanamkan bukan sekadar knowing the good, tapi juga reasoning the good, feeling the good, dan akhirnya acting the good sehingga mereka menjadi agent of change di kampungnya. Mereka berani menegur orang dewasa yang buang sampah sembarangan. Yang ditegur pun nggak marah karena yang mengingatkan adalah anak kecil. Malah jadi lucu dan malu sendiri orang itu (tertawa).

Q: Bagaimana melihat penetrasi pihak internasional dalam pasar preschool di Indonesia yang belakangan ini makin menjamur?

A: Sekolah asing itu bagus-bagus.
Saat ini kita hidup dalam era globalisasi, kenapa kita mempersoalkan asing atau lokal? Bagus itu kan universal. Bagi yang punya duit, bisa akses, silakan saja. Tapi ini kan paling satu persen dari masyarakat.
Berapa banyak sih yang bisa membayar uang sekolah TK sebesar Rp 20 juta sebulan? Makanya kami membangun sekolah berbasis karakter yang lebih bisa diakses masyarakat banyak. Menurut saya, pendidikan yang berbasis agama bisa juga menjadi berbahaya jika aspek kognitif terlalu ditekankan, misalnya doa-doa hafalan seperti di TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), kalau anak nggak bisa lalu disabet sehingga membuat mereka ketakutan. Seorang kepala TPA di Kalimantan Selatan yang ikut pelatihan sekolah karakter langsung nangis mengingat metode pendidikannya selama ini. Akhirnya kami mulai masuk juga ke TPA dengan meningkatkan sistem mereka menjadi TK nonformal. Belajar Al-Quran kan juga bisa dengan suasana yang menyenangkan, misalnya dengan menyanyi lebih dulu.

Q: Inspirasi membuat pendidikan berbasis karakter ini dari mana?

A: Saya terinspirasi oleh Lee Kuan Yew. Singapura sewaktu berpisah dengan Malaysia itu kan kondisinya critical. Mereka nggak punya apa-apa, sumber daya alam minim, masyarakatnya pun rentan konflik karena berbagai ras ada di sana, India, Cina, Melayu. Lee adalah seorang filosofi, maka dia melakukan pemberdayaan sumber daya manusia dengan membuka 350 TK. Ini social engineering. Yang diajarkan itu karakter, bagaimana kebersihan, disiplin. Tak sampai satu generasi di tahun 1970-an Singapura sudah menjadi negara yang tertib, menjadi tempat yang menyenangkan, menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Ini direncanakan semuanya. Indonesia mungkin too late ya, tapi tetap harus dimulai.
Masyarakat mulai berbenah. Ada almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid), Haidar Bagir dengan sekolah Lazuardinya. Biarkan masyarakat membantu pemerintah.

Q: Kalau guru bisa diajarkan, orang tua murid di rumah bagaimana? Anak-anak itu kan menghadapi orang tua mereka di rumah yang belum tentu sama pandangannya mengenai pendidikan?

A: Tak jadi masalah. Para orang tua malah terheran-heran kok anak saya sudah bisa baca? Kok malah sudah nasihatin saya? Para orang tua itu kita beri tahukan apa yang dipelajari anak-anak mereka di sekolah, misalnya soal kejujuran. Tinggal dibuat pemberitahuan kepada orang tua agar memberikan ajaran tentang kejujuran. Semua poin yang perlu diajarkan di rumah dituliskan. Hasilnya malah membuat orang tua dan anak tambah akrab karena batinnya diikat.
Bagaimana kalau ada yang mengaitkan kesuksesan sekolah ini dengan posisi Pak Sofyan Djalil di kabinet?
Kami mulai sekolah ini di tahun 2000, sementara Sofyan masuk kabinet 2004. Pada saat awal beroperasi, Sofyan menjadi devil’s advocate. Apa saja dia kritik. Akhirnya, saya jalan cari sponsor sendiri, seperti ke Exxon Mobil. Sampai sekarang kalau ada BUMN yang mau menjadi sponsor, saya mewantiwanti agar lihat dulu sekolahnya, dipahami dulu konsepnya, bukan karena suami saya Menteri Negara BUMN. Sebab, kalau bersifat topdown pasti tak akan long lasting.
Dari 55 sponsor sekolah karakter, memang ada tiga-empat BUMN.
Mungkin karena itu ada yang “menembak”, bahwa karena kedudukan suami, yayasan ini mendapat miliaran rupiah. Bahkan saya dibilang makmur. Silakan diaudit, sepeser pun saya tidak digaji. Ini juga sudah diaudit, tanya kepada 55 orang yang kerja di sini. Tapi saya nggak ambil pusing. Justru kami yang membantu mereka (perusahaan) , karena membuat hasil corporate social responsibility mereka terlihat.

Q: Apa target yang belum tercapai?

A: Target saya harus ada 10 ribu sekolah karakter yang bisa kami bentuk untuk membantu pendidikan di Indonesia. ?





TDA Blogroll

22 02 2009





Hari untuk istriku

31 01 2009

Keluargaku
Keluargaku

Hari untuk IstriKU

 

Dua puluh satu Januari 2009 mungkin ini bisa jadi momen terpenting dalam hidupku. Hari yang khusus didedikasikan untuk membahagiakan istri tercinta. Tepat sepuluh hari setelah hari ulang tahun istriku. Kedengarannya melankolis, cengeng dan mungkin aku akan ditertawakan banyak orang. Tapi mungkin juga ada yang memaklumi, bagi mereka yang mungkin punya kondisi yang sama denganku. Sudah lah tidak usah mikiran apa kata orang lain. Sepatah kata bijak dari seorang sahabat membuatku kembali teguh untuk melanjutkan tulisan ini,”Kabahagian adalah apa yang Anda rasakan, bukan yang orang lain katakan,”. Indah sekali, sejuk di dada ini.

Pagi itu, aku melakukan rutinitas seperti biasanya, setelah mengantar anak sekolah aku langsung setor uang ke bank BCA, kantor cabang utama Garut di jalan Ciledug. Setelah setoran, di mobil aku coba cek rekening Muamalat dan Mandiri via handphone. Seorang sahabat mendampingiku, sambil sedikit tersenyum lirih memandangku.”Eh pak, kumaha damang?,” sapa ku, sambil melanjutkan sms an ku.,”Ya, Alhamdulillah, bos,” jawabnya singkat, bapak yang satu ini memang suka bercanda dengan memanggilku bos.

Masih asyik mengetik sms, sahabatku ini makin dekat ke pintu mobilku, kedua tangannya menumpu ke sisi pintu mobilku. Ada sebuah kegalauan di wajahnya, tapi aku tidak berani menebak wajahnya yang biasa senyum ini. Tidak pernah aku melihat wajahnya sekusut ini, aku melihat ada yang hilang dari wajahnya yang biasa selalu ceria ini. Wajahnya seakan hampa, seakan kehilangan cahayanya. Sekilas ku biarkan dia semaunya nempel di mobilku, walaupun aku sudah beres sms an.

Tapi ia kelihatan semakin gusar.”Bos, saya baru dapat musibah,” katanya pelan sambil membuang pandangan jauh keluar mobilku. Aku santai aja, paling juga handphone hilang atau kecemplung ke air, karena selama ini hal-hal seperti itulah yang membuat aku akrab dengan kepala satpam BCA ini. Namanya pak Tatang. Tapi sahabatku ini tidak melanjutkan pembicaraannya, biasanya dia rame kalau ngobrol masalah hanphone nya yang kecemplung air atau kecemplung minyak tapi kali ini sedikit aneh.

Aku jadi ngak sabaran, menunggu kalimat selanjutnya dari pria berbadan kekar dan bertangan besar berotot, yang tangannya dihiasi sedikit tato ini.”Kenapa pak, musibah apa,” jawabku seadanya.”Istri saya meninggal, baru aja seminggu yang lalu,” jawab pak Tatang singkat, kembali wajahnya makin sendu. Aku terperanjat, karena tidak pernah sebelumnya mendengar istri pak Tatang sakit.”Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, aduh maaf pak, saya benar-benar ngak tahu,” aku merasa bersalah karena tidak hadir saat beliau berduka.

Wajah pria murah senyum ini memang terlihat tegar, ia kelihatan masih menyisakan sedikit senyum di bibirnya.”Maaf pak, istri bapak sakit apa? kan jarang sakit,” tanyaku penasaran. “Liver bos, satu minggu di rumah sakit tidak ada perubahan, badan istri saya makin kurus dan perutnya membengkak. Tadinya saya mau bawa ke rumah sakit umum Garut, tapi kata dokter,”Lebih baik di bawa pulang aja. Ini tinggal menunggu keajaiban”, mungkin karena waktu itu sakit istri saya udah parah. Tiga hari tidak sadarkan diri di rumah dan akhirnya meninggal,” terangnya, menceritakan perihal meninggal istrinya.”Aduh sedih ya pak, maaf anak bapak ada berapa orang?, selidik ku.”Ada empat bos, untungnya yang dua orang udah kerja. Anak yang ketiga kelas dua es sempe dan paling kecil kelas lima esde,” jelasnya.”Tapi sekarang anak saya yang paling besar dan yang kecil suka sakit-sakitan setelah ditinggal ibunya.”Aduh pak maaf ya, saya membuat bapak tambah sedih, tapi kelihatan nya bapak kuat ya,” tanyaku meyakinkan kalau dia memang tegar, melihat perawakan gede, wajah jantan dan gagah bagai seteguh batu karang.

Aneh, ia tidak langsung menjawab. Ia malah mengangkat tangannya yang tadi menumpu ke pintu mobilku. Badannya berdiri lurus, sekilas aku melihat matanya merah. Cepat sekali tidak kusangka, di kedua sisi matanya mengalir air bening, yah air mata yang begitu deras. Tangan kekarnya cepat-cepat membendung air mata bening itu. Tapi ia memang kalah cepat, air mata nya keburu membasahi pipi. Air matanya berderai membasahi pipi, “Saya merasa berdosa sama istri, orang nya pekerja keras, baik dan selalu memperhatikan saya. Sebelum menikah pun ia udah kerja, ia kerja banting tulang untuk membantu ekonomi keluarga. Tapi disaat-saat terakhirnya saya tidak bisa mendampinginya karena saya kerja,” jelas pak Tatang sambil kembali membungkuk dan menumpukan kedua tangannya ke sisi pintu mobil ku.

Aku tersedak, aku berusaha sekuat tenaga menahan iar mata karena tidak ingin membuat suasana semakin sedih. Aku ingin membuatnya lebih tegar dan mengiklaskan istrinya yang telah meninggal dunia. Aku tidak bisa membayangkan betapa remuk nya hati pak Tatang, lelaki yang selalu ceria, suka tersenyum ini ternyata sangat kehilangan ketika ditinggal istrinya. Lelaki setegar itu tidak kuat menahan cobaan yang begitu membuatnya terpukul.

Jauh sekali pikiran ku melayang entah kemana. Tiba-tiba aku ingat istriku di rumah, apa jadinya kalau hal ini menimpa ku. Bagaimana dengan anak-anak ku, wajah kedua anak ku terbayang. “Ya Allah, ampuni segala dosa ku, jangan ambil istri ku. Kalau boleh minta, kalau saja diantara kami sudah sampai waktu nya, biarlah aku yang dipanggil lebih dulu biar anak-anak ku tidak terlalu sedih karena kehilangan ibu nya,” batin ku menjerit dalam doa.

Aku juga merasa bersalah, saat itu tepat sepuluh hari sesudah hari ultah istriku tercinta. Aku merasa berdosa karena tidak merayakan hari ultahnya, hanya ucapan selamat yang sempat aku lontarkan, tanpa hadiah dan tanpa sekuntum mawar untuknya. Ya Alloh semoga aku masih diberi kesempatan untuk membahagiakannya. Membahagiakan wanita yang telah memberikan ku sepasang anak yang lucu, pintar, cakep, cantik dan sangat luar biasa.

Semoga istriku yang tercinta memaafkan suaminya yang sering tidak mempedulikannya dan sering lupa bahwa kalau sholat tiang agama maka sang perempuan adalah tiang negara. Kalau tiang sebuah negara sudah rapuh, maka negara sebesar apapun akan ambruk, maka lihat lah betapa mereka telah menopang negara dengan cinta dan kasih sayangnya. Tidak mungkin seorang anak akan bisa berkembang cerdas, kuat tanpa bimbingan dan belaian para ibu. Para ibu adalah pencetak putra-putra terbaik bangsa yang pada akhirnya akan membesarkan dan memajukan sebuah negara. Masih ragukah kita bahwa wanita adalah tiang negara?. (tra)

 





Salam MERDEKA

11 01 2009

Bendera

 

Memaknai bendera sama dengan memaknai identitas kita. Kalau bendera yang kita pasang merah-putih tentulah orang sudah tau bahwa kita warga negara Indonesia atau setidaknya orang yang kenal dekat atau pernah bermukim di Indonesia. Begitu juga ketika melihat bendera warna hijau bertuliskan syahadat dalam bahasa Arab dilengkapi pedang yang menyilang di tengahnya, pastilah orang tahu, itu bendera Arab Saudi. Itulah identitas, orang akan langsung memberikan penilaian dan gambaran tetang sikap, budaya atau karakter seseorang dari bendera nya. Bendera akan membuat seseorang terdefinisikan dalam sebuah opini. Misalkan memakai pin bendera merah putih di baju, saat kita di luar negeri, tentu mereka akan menyapa,”Hai Indonesia,”. Mereka tahu orang Indonesia adalah orang yang ramah dan santun, tapi kadang juga bisa jadi ejekan karena di suatu Negara imej negara kita kurang baik.

 

Apalagi dalam event-event tingkat dunia, misalnya pesta olah raga dunia seperti Olimpiade, maka identitas bendera sangat berarti, bahkan bisa menambah kepercayaan diri. Salah satu cabang olah raga, misalnya badminton negara kita sangat disegani. Pemain badminton negara lain sangat hati-hati dengan atlet sang merah putih karena pemain Indonesia sudah terbukti kehebatannya sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia. Para pemain merah putih tidak sedikit yang jadi pelatih di luar negeri, mereka juga pemain peringkat atas bahkan pernah menduduki peringkat satu dunia. Begitu juga atlet kita dari Indonesia, akan melihat lawan mainnya pertama dari bendera yang ada di baju mereka. Dengan memperhatikan bendera yang dipakai, akan menentukan sikap dan strategi apa yang akan dipakai untuk menghadapi lawan dalam satu pertandingan.

 

Setahun sekali setidaknya kita kembali diingatkan betapa besarnya arti bendera dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Setiap tanggal 17 Agustus kita memperingati hari kemerdekaan Negara kita. Kemerdekaan yang ditebus dengan cucuran keringat, darah dan air mata bahkan mengorbankan jiwa raga memberikan arti yang sangat mendalam pada selehai kain bewarna merah putih. Demi berkibar nya sang merah putih di bumi pertiwi ini, sudah tidak terhitung jiwa yang melayang, anak yang kehilangan bapaknya, istri yang kehilangan suaminya karena meninggal dalam medan tempur perjuangan kemerdekaan. Artinya bendera merupakan salah satu identitas Negara yang merdeka.

 

Tentu kita masih ingat insiden pengibaran bendera RMS di tengah-tengah acara pertunjukan atraksi seni. Pengibaran bendera ini akhirnya berbuntut di tangkapnya pelaku dan diadili. Bagitu juga pengibaran bendera GAM di Aceh, berbuntut panjang dengan jatuhnya korban dari kedua belah pihak. Jadi pengibaran bendera tidak lah semudah apa yang kita lakukan 17 Agustusan saat ini. Zaman penjajahan, pengibaran sang merah putih sama saja kita sedang bermain-main dengan maut. Hanya Negara yang merdeka dan berdaulat yang punya sebuah bendera. Bendera akan memberikan satu syarat penting dalam sebuah pertempuran di medan juang. Lihatlah selama perang berkecamuk, selama bendera masih berkibar, prajurit akan terus maju sampai titik darah penghabisan. Tapi bila sang bendera telah turun, artinya komando telah terputus, semangat akan turun, pemimpin telah gugur dan perjuangan akan selesai mundur ke garis belakang. Begitu juga ketika peperangan di zaman Rasullullah SAW, bendera punya arti yang sangat penting. Maka Nabi pun memerintahkan, apabila pembawa bendera dalam pertempuran gugur, maka harus digantikan oleh para sahabat yang lain. Intinya bendera harus tetap berkibar demi memompa semangat juang para sahabat.

 

Ironisnya saat ini banyak di antara kita, mengibarkan sang merah putih tanpa ada rasa kebanggaan sedikit pun. Lihatlah bendera yang dipasang di depan rumah yang di pinggir jalan, terlihat asal-asalan bahkan warna nya pun sudah pudar. Ada yang memasang bendera hanya dengan tiang setinggi 150 sentimeter dengan ukuran bambu diameter sebesar ibu jari orang dewasa. Lebih parah lagi, sang merah putih yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan kita hanya diikat pada sebatang bambu yang dipakai untuk umbul-umbul sebuah operator seluler. Bagi mereka yang rumahnya agak ke dalam, tidak di pinggir jalan raya, banyak yang tidak punya bendera di rumah mereka.(tra)