Social Entrepreneurs

19 04 2009

The reasonable man adapts himself to the world;
the unreasonable one persist in trying of adapt the world to himself.
Therefore, all progress depends on the unreasonable man. (George Bernard Shaw)

Kita bergantung pada orang edan? Bagaimana mungkin? John Elkington dan Pamela Hartigan, penulis buku The Power of Unreasonable People; How Social Entrepreneurs Create Markets that Change the World, punya keyakinan seperti itu. Mereka memiliki alasan kuat di balik keyakinan tersebut. Dunia dan umat manusia kini menghadapi berbagai tantangan yang luar biasa. Dari masalah kemiskinan, perubahan iklim, lingkungan yang rusak, ataupun wabah penyakit. Kalau hanya mengandalkan cara-cara biasa dan linear, persoalan-persoalan tadi akan sulit diselesaikan. Sementara sistem yang tersedia kini banyak yang disfungsional. Dunia membutuhkan orang-orang edan untuk menjadi agen perubahan yang menggunakan model bisnis baru dan mempercepat perubahan sosial.

Social entrepreneur (SE) adalah yang dimaksud dengan orang-orang edan tadi. Istilah ini awalnya dipopulerkan oleh Klaus Schwab, pendiri Schwab Foundation for Social Entrepreneurship (SFSE) dan penggagas World Economic Forum. Dari sisi sifat dasar, para SE ini memiliki karakter yang lazimnya dimiliki entrepreneur sejati: inovatif, panjang akal (resourceful) , praktis dan sensitif dalam menangkap peluang sekaligus tahan banting (resilience) . Bedanya, dalam usahanya, para SE mencoba melayani pasar yang belum pernah digarap. Begitu pula, spektrum stakeholder utama mereka biasanya berdimensi luas. Selain memperoleh pendapatan dan keuntungan, SE malah cenderung memprioritaskan pengembalian sosial atas investasi yang dikeluarkan. Mereka punya misi untuk memperkecil dan menghilangkan kesenjangan dalam kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, demografis, peluang bekerja, dan banyak lagi.

John Elkington dan Pamela Hartigan bisa dikatakan orang yang sangat otoritatif untuk urusan SE. Hartigan adalah Direktur Pengelola SFSE, sedangkan Elkington adalah pendiri dan mantan Chairman SustainAbility, lembaga terkemuka di bidang tanggung jawab sosial perusahaan untuk pengembangan kewirausahaan. Sejak tahun 2000-an, kedua orang ini sudah aktif mengidentifikasi, mempelajari, berjejaring dan mendukung penyuksesan upaya SE di banyak penjuru dunia.

Secara keseluruhan, buku ini menceritakan dengan semangat bagaimana sepak terjang SE terkemuka di seluruh dunia. Di setiap babnya bertebaran kasus upaya mencengangkan dari berbagai bidang di mana kesenjangan terjadi di berbagai negara. Sekadar menyebutkan beberapa, ada Grameen Group di Pakistan, Institute for Oneworld Health, perusahaan farmasi pertama di Amerika Serikat yang nonprofit. Ada pula Ashoka yang sudah mengglobal, Gram Vikas di India, First Book yang membagikan jutaan buku di AS, dan banyak lagi.
Bagian pertama, Building Innovative Enterprise, fokus pada bagaimana entrepreneur edan ini membangun perusahaan mereka, serta tantangan yang mereka hadapi saat mendirikan dan mengembangkannya. Bab 1, Creating Successful Business Models (halaman 30) membahas tiga kelompok besar model bisnis yang dijalankan SE. Pertama yang disebut Leveraged Nonprofit Ventures.

Biasanya, usaha di model bisnis ini terkait dengan barang publik seperti kesehatan, pendidikan atau perumahan. Pasar yang dilayani adalah mereka yang umumnya memiliki akses minim atau tidak punya sama sekali atas barang-barang tadi. SE di sini cenderung berperan sebagai katalis perubahan dan memberdayakan sumber dana dari pemerintah atau para donatur. Kedua, model bisnis yang disebut Hybrid Nonprofit Ventures. Dari segi bidang dan pihak yang dilayani, model ini serupa dengan yang pertama. Hanya, kemungkinan survive-nya lebih tinggi, karena tidak hanya mengandalkan dana sumbangan atau bantuan tapi juga dari keuntungan usaha.

Adapun yang ketiga, disebut Social Business Ventures yang murni dijalankan seperti bisnis yang berbasis laba. Meski demikian, misinya lebih pada sosial atau lingkungan, karena itu keuntungan yang diperoleh bukan untuk pemegang saham, melainkan dikembangkan lagi pada aspek sosial.

Apa pun model bisnis yang dijalankan, jelas para SE mencoba mengubah sistem yang sedang berjalan. Mereka mengeksplorasi, di mana dan bagaimana agar dapat memengaruhi perubahan. Ambil contoh Aravind Eye Care Center System di India yang didirikan (almarhum) Venkataswamy. Menyadari jumlah penderita katarak di India sebagian besar masyarakat miskin, mereka menawarkan operasi berbiaya murah hingga gratis. Namun tarif untuk yang lebih kaya berbeda. Dengan demikian, meskipun volume layanan besar, mutu tetap terjaga. Dari klinik dengan 7 kasur, kini Aravind melayani 2 juta pasien per tahun, atau sekitar 5% dari seluruh operasi katarak di India.

Bagian dua, Creating the Market of the Future menelusuri implikasi kerja SE untuk risiko dan peluang pasar masa depan. Ini dirinci dalam Bab 3 Identifying Market Opportunities in Ten Great Divides (halaman 85), Raising Expectation for Bonsai Consumers (halaman 117). Dalam tiga bab ini, ciri edan SE terlihat lantaran mereka begitu ambisius. Mereka orang yang can do thinker. One Laptop per Child (OLPC), yang digagas Nicholas Negroponte adalah contohnya, karena ia mau anak-anak di seluruh dunia lebih mudah punya akses informasi. Dengan upaya merancang ulang produk laptop, diharapkan pengurangan biaya secara radikal bisa terjadi. Target harganya US$ 100! Tahun 2007 Negroponte menghasilkan prototipe yang berharga US$ 170 dan ia yakin pada 2009 targetnya terwujud.

Lihat pula Wangari Maathai dari East Africa’s Green Belt Movement, Kenya, yang begitu berambisi menanam 15 juta pohon di tahap awal. Tidak ada yang menyangka penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2004 ini serius kala itu. Tahun 2007, sudah 30 juta yang dia tanam, dan dia berencana untuk menanam 1 miliar pohon! Seperti juga entrepreneur sejati, para SE ini luar biasa gigih dalam memperjuangkan gagasannya. Mohammad Yunus yang kini populer pun perlu 30 tahun untuk membuktikan bahwa model bisnis yang dia tawarkan perlu diperhitungkan. Dengan kredit mikro model Grameen Bank yang 97% nasabahnya wanita, Grameen Group kini berkembang dengan Grameenphone, Grameen Shakti, dan Grameenfood.

Bagian tiga Leading Sustainable and Scalable Change, menyajikan bagaimana para SE ini menjalankan, memperluas dan mengembangkan usahanya. Ini ditunjukkan dengan detail pada Bab 5 (Democratizing Technology, halaman 137), Bab 6 (Changing the System, halaman 157) dan Bab 7 (Scaling the Solutions, halaman 179). Semuanya menjelaskan lebih gamblang bagaimana SE bertahan meskipun dengan model bisnis yang awalnya dianggap tidak masuk akal. Pada dasarnya, seperti entrepreneur lain, mereka juga butuh uang. Namun bottom line, bagi mereka bukan cuma soal laba. Mereka punya dua-tiga ukuran keberhasilan yang lain seperti penyelesaian sosial atau lingkungan.

Secara keseluruhan, apa yang digambarkan oleh Elkington dan Hartigan di buku ini dapat menjadi bahan pelajaran bagi kita di Indonesia, terutama para pemimpin dan pengambil keputusan di berbagai sektor. Kasus-kasus yang disajikan di buku ini memang begitu menggugah, provokatif, entrepreneurial, dan inspiratif. Apalagi, negara kita memang sarat dengan berbagai persoalan akut yang tak mudah dibereskan dengan cara-cara yang lazim. Hanya orang-orang edan yang berpotensi kuat menyelesaikan.

sumber : swa


Aksi

Information

Tinggalkan komentar